Aktual

Maumere, ‘Roma-nya Indonesia’ dalam Pusaran Perdagangan Orang dan Prostitusi Anak

(Dimuat di katolikana.com, 23Juli 2021)

Oleh: Ermelina SIngereta


(Sebuah catatan penanganan kasus perdagangan orang di Maumere, Flores, NTT)

Perdagangan orang untuk tujuan diekspolitasi secara seksual (prostitusi) khususnya penempatan di lokasi prostitusi bukanlah informasi dan masalah baru bagi kita. Seringkali orang menganggap bahwa ini masalah sosial, moral, dan budaya, yang kerapkali terjadi dan dilakukan di masyarakat.

Stigma rendah, hina, buruk dan lainnya sering diberikan masyarakat bagi mereka yang bekerja di tempat prostitusi, bahkan kebanyakan dari mereka sering dianggap dan ditempatkan sebagai sampah masyarakat.

Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa ini bukan merupakan masalah hukum.Tentu ini tidak bisa dibiarkan karena di sana ada tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan terhadap mereka, sehingga kita perlu menempatkan mereka sebagai korban dalam masalah ini.

Dengan melihat mereka sebagai korban, maka sudah seharusnya perlu ada perlindungan hukum dan tanggung jawab negara dalam memberikan pemenuhan hak-hak bagi mereka.

Selama ini masalah perdagangan orang untuk tujuan dieskpolitasi secara seksual (prostitusi) semakin banyak terjadi dan lebih cenderung terjadi di daerah perbatasan, kota-kota besar, tempat pariwisata baik itu pariwisata alam maupun pariwisata “buatan” seperti kafe, Bar, Restoran, Pub dan sejenisnya, karena ini masuk dalam kategori pariwisata sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Namun tidak menutup kemungkinan peristiwa prostitusi terjadi juga di berbagai tempat lainnya.

Pertanyaannya adalah kenapa orang sangat ingin membuka bisnis prostitusi?

Bisnis prostitusi sangat menjanjikan dan sangat mudah untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan cepat, hal ini dapat terlihat dari berbagai bisnis prostitusi baik itu prositusi model lama –offline maupun yang belakangan ini sangat marak, prostitusi online, yang melibatkan mulai dari kalangan intelektual (kelompok terpelajar), selebritis, dan kelas bawah.

Melihat dari perkembangan bisnis prostitusi itu, maka penanganan kasus prostitusi semestinya menggunakan perspektif yang berbeda-beda pula. Penanganan kasus kelas atas dan kelas bawah, harus ditangani secara berbeda karena keduanya memiliki tujuan sendiri-sendiri.

Pada 2013 ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia kepada Okezone.com, mengungkapkan temuan penelitiannya, sebanyak 150 anak Indonesia telah dilacurkan dan diperdagangkan dengan tujuan seksual.

Dalam media yang sama, diungkapkan Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI mencatat data antara tahun 1972 hingga 2008, lebih dari 13.703 anak menjadi korban eksploitasi seksual di sejumalh daerah tujuan wisata di sekitar 40 desa yang tersebar di enam provinsi; Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Timur.


Kemiskinan Struktural dan Tanggung Jawab Negara

Masalah perdagangan orang untuk tujuan prostitusi seringkali terjadi karena pelaku selalu menipu korban dengan janji-janji atau iming-iming untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mendapatkan gaji yang besar sehingga dapat membantu perekenomian keluarga, membelikan mobil, rumah dan berbagai tindakan bujuk rayu atau iming-iming lainnya.

Masalah perdagangan orang biasanya terjadi pada masyarakat yang sedang memiliki masalah dan juga yang mengalami kemiskinan struktural yaitu masyarakat yang mengalami kemiskinan secara ekonomi dan pendidikan. Pelaku sering memanfaatkan kemiskinan tersebut untuk dapat menjerat korban sehingga terjebak dalam dunia prostitusi. Selain kemiskinan, perdagangan orang juga terjadi karena adanya keterbatasan akses Untuk mendapatkan lapangan pekerjaan.

Masalah lainnya juga sering terjadi karena pola pikir masyarakat kita khususnya generasi muda yang ingin cepat kaya atau ingin memiliki uang banyak dengan cara yang mudah dan cepat. Kecenderungan tidak menghargai proses untuk mencapai suatu kerberhasilan terjadi karena informasi media yang sangat terbuka dan tidak mendidik, selalu menampilkan gaya hidup “glamour,” menceritakan kisah-kisah kelas atas dalam berbagai suguhan sinetron, FTV, Drama, Talk Show atau pun acara-acara lain dalam media elektronik.

Orang-orang yang hidup di perkotaan, menampilkan gaya hidup kelas atas ataupun para public figure. Sementara masyarakat kita tidak diberikan pendidikan bahwa tampilan yang ada di media itu merupakan tuntutan pekerjaan atau pemberitaan media yang tidak diimbangi dengan pola pikir masyarakat kita mengenai informasi media tersebut.

Di sinilah butuh kehadiran dan tanggung jawab negara, di mana negara seharusnya memberikan fasilitas pendidikan gratis, agar masyarakat dapat menempuh pendidikan secara gratis dengan standar minimal untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, karena saat mendapatkan pendidikan yang baik dan memadai, maka masyarakat akan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang memadai.

Fakta menunjukan bahwa pendidikan yang tinggi selalu berkaitan dengan ketersediaan lapangan kerja yang baik dengan gaji yang memadai dan layak, sebagaimana kutipan dari Nelson Mandela “education is the most powerful weapon we can use to change the world.” Pendidikan merupakan kunci untuk sebuah perubahan yang baik bagi dunia. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah agar perlu pembatasan pemberitaan media yang tidak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.


Prostitusi di Kota Maumere

Beberapa tahun terakhir ini, Kabupaten Sikka selalu menjadi sorotan media khusus terkait dengan kasus prostitusi yang terjadi di Kota Maumere. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa pemberitaan media online sejak lima tahun terakhir ini, di mana Kabupaten Sikka memiliki tempat-tempat prostitusi yang beroperasi di Kota Maumere.

Salah satu kota kecil di daratan Pulau Flores yang mayoritas penduduknya beragama Katolik dan dipenuhi dengan banyaknya biara atau tarekat (pastor, bruder, dan suster). Dikutip dari dokpenkwi.org, setidaknya terdapat kurang lebih 11 Tarekat Klerikal (Imam), 2 Tarekat Laikal (bruder/frater), dan 28 Tarekat Laikal (Suster). Dengan Mayoritas penduduk Katolik dan sebaran biara atau tarekat yang cukup banyak di Kota Maumere, maka kota ini bisa disebut sebagai “Roma”-nya Indonesia.

Masalah prostitusi yang baru-baru ini terjadi mencuat ke publik dan diberitakan dalam media onlie Voi.id, terkait penggerebekan Polda NTT pada Juni 2021 terhadap sejumlah tempat hiburan yang diduga mempekerjakan 17 anak perempuan di bawah umur. Kepolisian menyusuri tempat hiburan malam antara lain di L, S, B, dan SH, dan menemukan 25 pekerja tempat hiburan malam, 17 di antaranya adalah di bawah umur atau anak-anak.

Ditemukannya sejumlah pekerja tempat hiburan malam, termasuk pekerja anak menunjukan kepada kita bahwa Kota Maumere, Kabupaten Sikka telah memiliki beberapa tempat hiburan malam, dan itu yang terungkap ke publik. Disinyalir masih banyak tempat hiburan malam yang masih beroperasi di Kota Maumere.

Kondisi ini tentu mengejutkan kita, ternyata kota kecil yang di dalamnya terdapat Seminari Tinggi Ledalero (salah satu seminari terbesar di dunia) yang dikelilingi dengan kurang lebih 41 tarekat atau biara (pastor, bruder, dan suster) Katolik ini terdapat beberapa tempat hiburan malam. Namun ini adalah sebuah fakta, dan tidak dapat dipungkiri bahwa praktik-praktik prostitusi seperti ini bisa terjadi di mana saja tanpa terkecuali, baik itu di tengah kelompok intelektual, lingkungan agamawan, kota besar, maupun kota-kota kecil.

Melihat apa yang terjadi di Kota Maumere baru-baru ini, dan belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, maka di sini sangat diperlukan peran dari berbagai pihak, termasuk tokoh agama, khususnya tokoh agama Katolik.

Hal ini sejalan dengan pandangan Paus Fransiskus tentang perdagangan orang, beliau mengatakan bahwa “perdagangan orang adalah luka dalam Tubuh Gereja Kristus. Luka kemanusiaan yang membawa Gereja (umat Allah) harus terus menerus menghidupi Injil dalam karya nyata (pendampingan, perlawanan, pengorbanan, penyembuhan) sehingga karya penyelamatan Allah dinyatakan dan masih terus berlangsung.”

Dengan kata lain, sangat baik jika gereja hadir untuk melayani dan memberikan diri terhadap ketidakadilan, merasakan penderitaan para korban yang miskin dan yang terluka baik secara fisik maupun jiwa.

Selain itu diperlukan juga keterlibatan kelompok intelektual untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tindakan mempekerjakan perempuan, apalagi anak perempuan untuk tujuan eksploitasi (prostitusi) merupakan bentuk tindakan pelanggaran atas hak asasi manusia dan itu merupakan tindakan yang tidak manusiawi, melanggar norma-norma sosial, agama dan tindakan pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.


Perlindungan Hukum bagi Korban

Masalah prostitusi yang terjadi diatas telah diproses secara hukum, dan yang sangat menyedihkan bahwa Kepolisian Polda NTT tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menyikapi masalah ini, penulis perlu menyampaikan pandangan dan alasan kenapa kasus di atas perlu menggunakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal ini sangat penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang sama bahwa sebuah kasus hukum tidak hanya dilaporkan, diproses dan diadili secara hukum, namun perlu menempatkan suatu kasus hukum dengan aturan hukum yang tepat. Hal ini sangat penting untuk memberikan informasi dan pembelajaran bagi masyarakat bahwa kasus tersebut merupakan sebuah peristiwa pidana mengenai adanya tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi baik itu secara fisik, psikis dan juga seksual.

Dalam kasus di atas, para korban tersebut berasal dari luar wilayah Maumere, seperti berasal dari Cianjur, Karawang dan Bandung. Dengan demikian kita perlu menempatkan kasus ini sebagai kasus perdagangan orang karena ada sebuah proses perekrutan, pengangkutan, penampungan dan berbagai tindakan proses yang lainnya, dengan cara pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, dan untuk tujuan pelacuran, kerja paksa, pemanfaatan fisik, seksual, memanfaatkan tenaga atau kemampuan orang dan berbagai tindakan tujuan yang lainnya.

Pada kasus perdagangan orang ada tiga unsur tindak pidana yaitu proses, cara, dan tujuan. Untuk kasus perdagangan anak, tidak harus memenuhi tiga unsur, namun cukup dua unsur saja maka kasusnya dapat diproses. Dengan demikian pada kasus di atas dengan 17 orang korban yang masih berusia anak, cukup digunakan dua unsur tindak pidana perdagangan orang saja.

Untuk unsur perdagangan orang bisa dilihat pada Pasal 1 angka (1) menyebutkan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau membayar atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Kemudian angka (8) eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Pasal 26 persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini juga mengatur adanya pemberatan hukuman bagi pelaku perdagangan anak.

Selain itu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga mengatur tentang pemenuhan hak bagi korban tindak pidana perdagangan orang, di antaranya adalah hak untuk mendapatkan ganti rugi (restitusi) pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Korban juga berhak untuk rehabilitasi. Untuk lebih lanjut mengenai hak-hak korban telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pertanyaannya adalah apakah para korban bisa mendapatkan keadilan? Memberikan dan menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang adalah bagian terkecil dari rasa keadilan bagi para korban. Namun keadilan bagi korban sering tidak diperhatikan dan terabaikan, sementara suatu tindakan kejahatan pasti menimbulkan kerugian materiil maupun imateriil bagi para korban.

Keadilan bagi korban adalah dengan memberikan pemenuhan hak-hak korban yang mengalami kerugian akibat dari tindakan kejahatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan. Untuk memastikan tercapainya keadilan hukum dan pemenuhan hak-hak para korban maka kita perlu kawal bersama. Hal ini sangat memerlukan peran dari setiap individu, lembaga, organisasi, kelompok intelektual, tokoh agama maupun masyarakat, agar mendorong kepolisian memproses kasus tersebut sampai adanya putusan pengadilan.

Bagi saya, sudah sepatutnya kita menjadi bagian dari perjuangan para korban, kita perlu berempati atas rasa yang telah dialami para korban dan merasakan bahwa penderitaan dan kemalangan mereka bagian dari rasa sakit kita.


Komentar

Postingan Populer