Langsung ke konten utama

Aktual

Maumere, ‘Roma-nya Indonesia’ dalam Pusaran Perdagangan Orang dan Prostitusi Anak

(Dimuat di katolikana.com , 23Juli 2021) Oleh: Ermelina SIngereta (Sebuah catatan penanganan kasus perdagangan orang di Maumere, Flores, NTT) Perdagangan orang untuk tujuan diekspolitasi secara seksual (prostitusi) khususnya penempatan di lokasi prostitusi bukanlah informasi dan masalah baru bagi kita. Seringkali orang menganggap bahwa ini masalah sosial, moral, dan budaya, yang kerapkali terjadi dan dilakukan di masyarakat.

“Ghosting” dan Keadilan Hukum Bagi Korban

(Dimuat di dikenomianews.com, 30 April 2021)

Oleh: Ermelina Singereta


“Ghosting itu seperti bayangan yang hilang secara tiba-tiba dan biasanya ghosting itu terjadi pada orang yang memiliki relasi baik itu relasi pertemanan, persahabatan maupun relasi yang memiliki keintiman perasaan dan relasi apapun sebutannya.”


Ghosting dan Relasi

Akhir-akhir ini kita sering mendengarkan istilah ghosting, dan istilah ini biasa disebutkan atau diberikan kepada orang yang memiliki relasi dan meninggalkan hubungan relasi tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak lainnya.

Sebelumnya kita perlu mengetahui apa arti ghosting, dalam kamus bahasa inggris ghosting adalah berbayang, ghosting itu seperti bayangan yang hilang secara tiba-tiba dan biasanya ghosting itu terjadi pada orang yang memiliki relasi baik itu relasi pertemanan, persahabatan maupun relasi yang memiliki keintiman perasaan dan relasi apapun sebutannya. Biasanya pelaku menghilang secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan ataupun memberikan informasi bahwa akan meninggalkan suatu hubungan, pelaku menghilang seperti ditelan bumi dan tidak bisa dihubungi, ataupun dapat dihubungi tapi biasanya tidak memberikan respon. Pelaku ghosting biasanya tidak memberikan alasan kenapa meng-ghosting korban, hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi korban, apa dan kenapa pelaku meninggalkannya tanpa memberitahukan terlebih dahulu alasan kepergiannya.

Sikap dan prilaku pelaku memberikan kesan bahwa pelaku ghosting merupakan seorang pengecut yang tidak bertanggungjawab secara moral, pelaku tidak memikirkan kondisi psikologis korban yang ditinggalkan tanpa memberi suatu alasan yang jelas atas kepergiannya. Latar belakang pelaku ghosting sangat beragam, tanpa memandang status, kedudukan, usia, berpendidikan ataupun yang tidak berpendidikan dan berbagai latar belakang lainnya. selain tidak bermoral, tindakan pelaku juga sebagai salah satu bentuk pelanggaran hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Kalangan anak muda yang menjadi korban sering menyampaikan bahwa dia merupakan korban ghosting. Walaupun belum ada data yang menunjukan berapa jumlah korban ghosoting, namun dari catatan pengalaman penanganan kasus hukum, bahwa perempuan memiliki peluang lebih besar menjadi korban ghosting dan kebanyakan ini terjadi dalam relasi berpacaran. Menjadi korban tentu sangat tidak baik, karena korban merupakan pihak yang menderita dan mengalami kerugian akibat tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku yang meng-ghosting.


Kerentanan Perempuan dan Ghosting

Dalam relasi berpacaran, kebanyakan perempuan tidak menyadari bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan, karena korban lebih cendrung beranggapan bahwa pelaku melakukan tindakan kekerasan baik itu kekerasan seksual, fisik dan non fisik sebagai bentuk ekpresi perasaan sayang dan cinta dari pelaku. Biasanya korban percaya dengan pelaku karena janji palsu, iming-iming untuk menikah, bertanggung jawab dan berbagai tindakan rayuan pelaku yang lainnya.

Korban baru merasakan telah menjadi korban saat pelaku meninggalkannya tanpa memberikan alasan atau sering disebutkan dengan ghosting, sebagaimana yang telah disebutkan diatas dimana tindakan ghosting merupakan tindakan seorang yang pergi dari sebuah hubungan atau relasi tanpa memberikan informasi terlebih dahulu kepada korban. Korban pun hanya mampu men-cap pelaku dengan sebutan manusia tidak bertanggung jawab, pengecut dan berbagai sebutan atau umpatan kemarahan korban yang lainnya.

Tindakan dan sikap ghosting merupakan satu tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab untuk mengakhiri suatu hubungan, tindakan ini tentu berdampak buruk bagi orang yang di-ghosting, karena selama menjalankan relasi antara pelaku dan korban tentu telah melakukan banyak hal secara bersama, bahkan melakukan hubungan yang merugikan korban, kepergian pelaku tentu menjadi beban bagi korban, yang memiliki kenangan-kenangan yang sangat dalam dan sulit dilupakan oleh korban. Sikap pelaku ghosting yang meninggalkan korban tentu meninggalkan rasa kecewa, marah, dendam atas tindakan yang telah dilakukan pelaku.

Ghosting merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun karena masih banyak orang berpandangan bahwa itu merupakan suatu masalah pribadi atau privat yang dimana penyelesaian masalahnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Pandangan ini tentu akan menghambat untuk tercapainya keadilan hukum bagi korban, tidak adanya suatu perlindungan hukum bagi korban. Dengan tidak memproses kasus seperti ini, seolah-olah ada nilai privilage yang diberikan oleh negara kepada pelaku, kendala yang lain juga terjadi karena masih kurangnya pemahaman aparat penegak hukum untuk memproses kasus-kasus seperti ini secara hukum, karena dianggap bahwa ini merupakan masalah pribadi yang dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, atau dapat dimintai pertanggungjawaban secara kekeluargaan. Sementara peristiwa ghosting merupakan masalah hukum, yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum, hal ini karena korban mengalami kerugian dan juga ketidakdilan hukum.


Ghosting dan Perlindungan Hukum

Dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban yang di-ghosting, maka kita dapat menggunakan dua mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh korban dalam memperjuangkan hak-haknya, yaitu pertama mekanisme secara perdata dengan mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan, korban wajib untuk menghitung nilai kerugian baik materiil maupun imateriil yang dialami oleh korban, dan ini telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur mengenai adanya ganti rugi, orang yang menderita kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain yang melawan hukum memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian. Korban pun dapat melaporkan kasus hukum yang dialaminya dengan melaporkan ke pihak yang berwajib, proses pidana merupakan salah satu sarana yang penting dalam memperjuangkan hak-hak korban dan juga untuk menanggulangi terjadinya kejahatan yang merugikan korban.

Kedua adalah mekanisme secara pidana, dengan menggunakan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, atau juga pasal yang lain sesuai dengan masalah hukum yang terjadi pada korban. Penipuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa tipu berarti kecoh, daya cara, perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dsb), dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan berarti proses, perbuatan, cara menipu, perkara menipu (mengecoh). Pada masalah ghosting ada pelaku yang menipu dan ada korban yang tertipu, dimana penipu menggunakan cara, perbuatan menipu untuk mendapatkan sesuatu dari korban dengan rangkaian kebohongan, atau menggunakan tipu muslihat.

Pasal 378 KUHP mengatakan “Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Selain Pasal penipuan, korban pun bisa menggunakan pasal lain yang ada dalam KUHP dan juga berbagai undang-undang lainnya, sesuai dengan kebutuhan korban dan ini tentu harus sesuai dengan peristiwa hukum yang telah dialami oleh korban dan orang yang meng-ghosting.

Berangkat dari persoalan yang terjadi di atas, maka tindakan ghosting tidak hanya tindakan yang melanggar aturan hukum, namun yang perlu dipahami juga bahwa tindakan ghosting merupakan suatu perbuatan yang berdampak bagi psikologis korban, korban membutuhkan pemulihan psikologisnya. Harapannya Sangat baik, sebelum mengambil suatu tindakan yang berdampak kepada orang lain, maka sebagai manusia yang memiliki nurani perlu memikirkan dan mempertimbangkan dampak dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan.


Komentar

Postingan Populer