Langsung ke konten utama

Aktual

Maumere, ‘Roma-nya Indonesia’ dalam Pusaran Perdagangan Orang dan Prostitusi Anak

(Dimuat di katolikana.com , 23Juli 2021) Oleh: Ermelina SIngereta (Sebuah catatan penanganan kasus perdagangan orang di Maumere, Flores, NTT) Perdagangan orang untuk tujuan diekspolitasi secara seksual (prostitusi) khususnya penempatan di lokasi prostitusi bukanlah informasi dan masalah baru bagi kita. Seringkali orang menganggap bahwa ini masalah sosial, moral, dan budaya, yang kerapkali terjadi dan dilakukan di masyarakat.

Aturan Hukum dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Relasi Pacaran

(Dimuat di jalastoria.id, 2 Agustus 2020)

Oleh: Ermelina Singereta


Sumber Foto: Jalastoria.id
Tindakan kekerasan dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan terhadap siapa saja. Selama ini kita sering mendengar tentang kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan perkawinan atau dalam lingkaran keluarga. Ini yang dikenal dengan sebutan kekerasan dalam rumah tangga, di mana kekerasan itu terjadi di dalam ruang lingkup rumah tangga, terhadap orang yang terikat dalam perkawinan, pekerja yang bekerja di rumah tangga, dan orang yang berada dalam pengampuan di rumah tangga tersebut. Hal ini pun telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Namun perlu diketahui bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga. Ia dapat terjadi dalam lingkup lainnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2019 menyampaikan ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu sejumlah 406.178 kasus. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber yakni pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN) maupun Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan untuk Rujukan Komnas Perempuan. Mariana Amiruddin menjelaskan bahwa pada Catahu 2019 sejumlah fakta tentang kekerasan terhadap perempuan yakni perkosaan dalam pernikahan (marital rape), incest, kekerasan dalam pacaran (KDP), cybercrime, dan kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Kendati beberapa darinya adalah jenis kasus lama, namun jenisnya semakin beragam.

Kasus kekerasan yang tertinggi dilaporkan dalam Catahu 2019 adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Adapun di urutan kedua Kekerasan dalam Pacaran (KDP) dan Incest di urutan berikutnya.

Selama ini masyarakat kita sudah sering mendengar tentang begitu banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ini tentu saja berbeda dengan kasus kekerasan dalam relasi berpacaran. Terjadinya kasus kekerasan dalam relasi berpacaran masih sangat minim diartikan orang bahwa itu adalah bagian dari kekerasan. Malah dianggap bahwa itu merupakan bentuk ekpresi perasaan cinta dari pasangannya. Hal ini terjadi karena sebagian besar perempuan belum paham bentuk kekerasan yang dialaminya dalam suatu hubungan sehingga perempuan tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban oleh pacar mereka.

Berdasarkan pengalaman dalam penanganan kasus kekerasan dalam pacaran, kebanyakan korbannya baru menyadari telah menjadi korban saat hubungan tersebut mengalami masalah. Korban tidak menyadari bahwa tindakan dari pacarnya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Korban sering menganggap bahwa itu merupakan bentuk ekspresi kasih sayang, cinta, dan berbagai perasaan orang saat sedang jatuh cinta. Saat korban sudah memahami bahwa tindakan dari pasangannya merupakan salah satu bentuk kekerasan yang tidak dapat ditolerir lagi, biasanya pasangan malah melakukan tindakan intimidasi, ancaman, dan berbagai tindakan pembungkaman lainnya.


Kekerasan terhadap Perempuan dan Aturan Hukumnya

Situasi di atas tentu perlu mendapatkan perhatian serius, agar peristiwa seperti ini tidak terjadi berulang-ulang atau terjadi terus-menerus karena hal ini akan berdampak bagi kehidupan korban. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pijakan dasar untuk memberikan perlindungan hukum yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini menegaskan semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum, tidak terkecuali perempuan dan prinsip ini yang sering disebut dengan prinsip persamaan hak di muka hukum (equality before the law).

Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. CEDAW mengatur tentang kewajiban negara peserta untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dalam segala bidang, baik di bidang hukum dan politik, maupun ekonomi, sosial, budaya, sipil dan lainnya.

Indonesia juga telah memiliki beberapa undang-undang yang dapat memberikan perlindungan kepada perempuan di antaranya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini mengatur tentang perlindungan perempuan dalam konteks keluarga (hubungan keluarga dan orang-orang yang berada dalam pengampuan keluarga). Namun kehadiran undang-undang ini juga seperti pisau bermata dua, satu sisi hadir untuk membela kepentingan perempuan, namun di sisi lain banyak juga perempuan yang menjadi target dari suatu tindakan hukum karena adanya laporan dari suami. Selain Undang-Undang PKDRT ada juga Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mengatur pemberian perlindungan kepada anak-anak tidak terkecuali anak laki-laki dan perempuan sampai usia 18 tahun saja.


Kekerasan Dalam Pacaran dan Kesulitan Hukumnya

Pada kasus kekerasan seksual dalam pacaran atau kekerasan yang terjadi karena adanya relasi paccaran, seringkali mengalami hambatan dalam proses penanganan hukum. Hal ini terjadi karena aparat penegak hukum masih berpandangan atau menganggap bahwa peristiwa tersebut terjadi karena adanya suatu hubungan atau relasi yang baik antara korban dan pelaku. Seharusnya aparat berpandangan bahwa justru karena adanya relasi tersebut, maka peluang perempuan menjadi korban kekerasan seksual lebih tinggi, karena adanya relasi kuasa yang digunakan oleh pelaku. Adanya relasi kuasa itu membuat pelaku menganggap bahwa perempuan adalah miliknya yang dapat diperlakukan sesuai dengan keinginannya. Termasuk di dalamnya tipu daya, tipu muslihat, janji, iming-iming, dan berbagai tindakan penguasaan pelaku terhadap korban. Hal itu pada akhirnya membuat korban terpaksa tunduk dan patuh pada pelaku.

Pandangan ini akan berbeda ketika aparatur penegak hukum menghadapi kasus kekerasan seksual yang terjadi di luar relasi pacaran, yang tidak memiliki ikatan emosial antara satu dengan yang lainnya. Aparat penegak hukum beranggapan bahwa tindakan tersebut menggunakan tindakan kekerasan dan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban sehingga perkaranya dapat ditangani.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa aturan hukum yang dapat digunakan dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam pacaran? Apa kendala aturan hukum yang tersedia? Sebagaimana kita ketahui, Komnas Perempuan dalam Catahu 2019 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual banyak terjadi, tak terkecuali kekerasan seksual dalam konteks relasi berpacaran. Namun kasus-kasus tersebut terkadang mengalami hambatan secara hukum. Sejauh ini hanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat memberikan kepastian hukum pada kasus kekerasan seksual bagi perempuan dewasa, yang diatur dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, Bab XX yang mengatur tentang Penganiayaan, dan Bab terkait lainnya.

Masih banyak kasus kekerasan dalam pacaran, yang tidak dapat diproses secara hukum, tentu dengan alasan klasik karena tidak memenuhi unsur pasal-pasal yang ada dalam KUHP, sebagaimana Pasal-pasal yang diatur pada Bab XIV tentang Kesusilaan, Bab XX tentang Penganiayaan dan juga Bab terkait lainnya. Berdasarkan hambatan tersebut, maka sangat diperlukan suatu terobosan hukum dan perspektif yang memadai dari aparatur penegak hukum untuk menangani masalah kekerasan seksual dalam relasi pacaran.

Oleh karena itu, dalam penanganan kasus kekerasan seksual dalam relasi pacaran, sebaiknya penanganannya tidak hanya didasarkan pada perspektif hukum positif semata atau dengan mengacu kepada aturan hukum saja. Penanganan kasus tersebut juga perlu dilakukan dengan menggunakan persepektif lainnya, antara lain perspektif budaya dan sosiologi,. Hal ini sangat penting agar harapan tercapainya keadilan bagi semua orang khususnya kepada korban dapat terwujud.

Selain itu, mengingat tidak adanya aturan yang dapat memberikan perlindungan bagi korban, maka sangat diperlukan aturan hukum baru yang dapat memberikan perlindungan kepada perempuan. Berdasarkan kekosongan hukum selama ini, banyak kasus kekerasan seksual dalam relasi pacaran yang tidak dapat diproses secara hukum. Pembentukan aturan baru yang melindungi korban itu diperlukan demi tercapainya keadilan hukum bagi semua masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, gender, dan latar belakang lainnya.


Komentar

Postingan Populer